Nats: Imamat 19:9-18
Kitab Imamat adalah kitab kekudusan. Kata kuncinya adalah “Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN Allahmu, kudus” (Im. 19:2). Ini bukan sekadar aturan keagamaan, ini cetak biru identitas umat Allah.
Imamat 19:9-18 bicara bahwa kekudusan itu bukan cuma soal mezbah, bukan cuma soal korban bakaran, tapi bagaimana engkau memperlakukan sesamamu. Kudus bukan hanya “aku tidak berbuat dosa”, tetapi “aku hadir sebagai pikiran Allah di tengah masyarakat yang keras”.
Perhatikan struktur ayat 9-18: - Ayat 9-10: cara kerja dan ekonomi (panen, lahan). - Ayat 11-16: integritas sosial (jujur, tidak menipu, tidak memfitnah). - Ayat 17-18: hati yang penuh kasih, bukan dendam.
Semuanya ditutup dengan kalimat yang Yesus kutip sebagai hukum kedua yang terbesar: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Im. 19:18). Dalam bahasa Ibrani: וְאָהַבְתָּ לְרֵעֲךָ כָּמוֹךָ (ve'ahavta lere'akha kamokha), artinya: cintailah orang lain dengan kualitas perhatian yang sama seperti engkau rawat dirimu.
Saudara-saudara, kita sering doa begini: “Tuhan, jagalah aku. Lindungi aku. Berkati aku.” Tapi jarang kita tanya: “Tuhan, apakah aku sudah menjaga hidupku supaya tetap berada di bawah kasih-Mu?”
Banyak orang Kristen mau merasa dikasihi Tuhan, tapi tidak mau dibentuk menurut karakter kasih Tuhan. Mau berkatnya, tapi tidak mau gayanya.
Pertanyaan retoris untuk kita semua: “Bagaimana aku tahu bahwa aku sungguh sedang hidup dalam kasih Allah — bukan cuma hafal kata kasih, tapi betul-betul tinggal di dalamnya?”
Teks kita hari ini menunjukkan bahwa memelihara diri dalam kasih Allah itu terlihat dalam cara kita hidup di tengah orang lain. Bukan mistis. Bukan hanya perasaan hangat di hati. Tapi sangat praktis, sangat sosial, sangat nyata.
Ada tiga tanda utama dari orang yang memelihara diri dalam kasih Allah:
Mari kita masuk ke poin pertama. Kasih Allah itu tidak pelit.
“Apabila kamu menuai hasil tanahmu, janganlah kausabit habis ladangmu sampai ke tepinya dan hasil penuaian ladangmu yang tinggal janganlah kautuai. Juga janganlah kausut lingga pohon anggurmu sampai bersih ... biarkanlah semuanya itu untuk orang miskin dan untuk orang asing. Akulah TUHAN, Allahmu.” (Im. 19:9-10)
Luar biasa. Tuhan memerintahkan margin belas kasihan. Israel tidak boleh panen habis. Tidak boleh maksimalkan laba sampai nol sisa. Selalu ada ruang untuk orang miskin dan orang asing.
Ini bukan sekadar sedekah spontan. Ini struktur ekonomi kasih. Mereka harus merencanakan dari awal: “Bagian ini bukan untukku.”
Kata “orang asing” = גֵּר (ger): pendatang, imigran, orang tak punya tanah. Artinya: Kasih Allah menolak nasionalisme egois dan menolak mental “asal keluargaku aman”. Kasih Allah memelihara kita dengan mengajar kita memelihara yang lemah.
Aplikasi Praktis:
Ilustrasi:
Ada orang yang kalau makan gorengan, dia ambil yang paling besar. Ada orang lain yang diam-diam pilih yang paling kecil, supaya yang lain kenyang dulu. Pertanyaan hari ini sederhana tapi tajam: “Di meja hidup ini, saya orang yang mana?”
Setelah bicara soal kemurahan hati, Tuhan bergerak ke area lain: integritas. Karena berbagi saja tidak cukup kalau hatinya licik. Mari masuk poin kedua.
Ayat Paralel
Ayat 11-12: “Janganlah kamu mencuri, janganlah kamu berbohong, dan janganlah kamu berdusta seorang kepada sesamanya. Janganlah kamu bersumpah dusta demi nama-Ku…”
Lalu ayat 13: “Janganlah engkau memeras sesamamu atau merampas miliknya.” Bahkan upah seorang pekerja harian tidak boleh ditahan sampai pagi. Ini dahsyat. Tuhan peduli gaji harian!
Ayat 14: “Janganlah engkau mengutuki orang tuli dan janganlah engkau meletakkan batu sandungan di depan orang buta.” Artinya: jangan eksploitasi kelemahan orang lain demi keuntungan pribadi.
Ayat 15-16: “Janganlah kamu berbuat curang dalam peradilan… janganlah engkau menjadi penyebar fitnah di antara bangsamu.” Ini bicara sistem hukum, relasi sosial, sampai gosip.
Singkatnya: Tuhan mengikat kekudusan dan keadilan sosial jadi satu nafas. Tidak ada “orang rohani” yang licik. Tidak ada “pelayan Tuhan” yang menahan hak pekerja. Tidak ada “aktivis kebenaran” yang pakai fitnah untuk menang.
Kata “memeras” di ayat 13 memakai akar Ibrani עָשַׁק (‘ashaq), artinya menekan, menahan hak, memperlakukan orang lain seperti barang pakai. Tuhan benci itu.
Aplikasi Praktis:
Ilustrasi:
Ada orang yang rajin pelayanan, aktif di mimbar, tapi di kantor main potong honor stafnya sendiri. Itu seperti cuci tangan pakai sabun mahal, tapi setelah itu celupkan lagi tanganmu ke got. Tidak bersih. Tidak kudus.
Jadi kasih Allah tidak hanya lembut memberi, tetapi juga tegas menjaga keadilan. Namun puncaknya ada di relasi hati: apa yang kita lakukan dengan sakit hati, dendam, dan luka. Itu poin ketiga.
Ayat Paralel
Ayat 17: “Janganlah engkau membenci saudaramu di dalam hatimu.” Perhatikan: Tuhan tidak hanya larang kekerasan fisik, tapi sampai motif batin.
Masih ayat 17: “Engkau harus menegur sesamamu, supaya engkau tidak turut memikul kesalahannya.” Menegur itu bukan karena benci, tapi karena peduli. Dalam bahasa Ibrani, kata “menegur” di sini adalah הוֹכֵחַ (hokhiach), artinya menunjukkan kesalahan secara jujur agar orang itu tidak terus menuju kehancuran.
Ayat 18: “Janganlah engkau menuntut balas dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu. Melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Akulah TUHAN.”
Perhatikan penutupnya: “Akulah TUHAN.” Artinya: ukuran etika kasih bukan perasaan kita, tapi karakter Allah sendiri. Kalau Allah yang kudus sudah mengampuni kita, siapa kita menolak mengampuni?
Aplikasi Praktis:
Ilustrasi:
Luka hati yang tidak dibereskan itu seperti sampah organik yang tidak pernah dibuang. Lama-lama bukan hanya bau. Dia mengundang belatung. Dendam itu bukan perlindungan jiwa; dendam itu sarang belatung rohani.
Jadi memelihara diri dalam kasih Allah berarti: saya menolak membiarkan kebencian jadi identitas saya. Sebab identitas saya bukan korban, identitas saya adalah umat yang sudah diampuni dan dikasihi.
Ayat Paralel
Jemaat Tuhan yang dikasihi, memelihara diri dalam kasih Allah itu bukan pasif. Itu pilihan harian.
Hari ini, mari jadikan ini komitmen iman kita: 
Tuhan, aku mau hidup dengan hati yang memberi, tangan yang adil, dan relasi yang bebas dari dendam.
Bagi yang saat ini sedang hidup dalam kikir, ketidakjujuran, atau kepahitan: ini saatnya bertobat. Bukan supaya Tuhan mulai mengasihi kita, tapi supaya kita kembali tinggal di dalam kasih itu.
Karena kasih Allah bukan teori. Kasih Allah adalah udara yang membuat jiwa kita bisa bernapas.
Panen padi jangan habiskan, Sisakan tepi untuk si lemah. Bila hatimu Tuhan sucikan, Kasih-Nya terasa di tengah rumah.
Inilah cara memelihara diri dalam kasih Allah: bukan hanya dengan berkata “Tuhan, aku mengasihi-Mu”, tapi dengan hidup yang menyerupai hati-Nya.
“Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Akulah TUHAN.” (Imamat 19:18)
Pasal 19 adalah bagian dari “Kode Kekudusan” (Holiness Code) — yaitu kumpulan hukum yang mengajarkan bagaimana umat Israel, sebagai umat Allah yang kudus, harus hidup berbeda dari bangsa-bangsa lain.
Ayat 9–10 secara khusus berbicara tentang kepedulian sosial dalam konteks agraris.
Jadi, konteksnya bukan sekadar memberi uang atau sedekah spontan, melainkan menyediakan ruang dalam hasil kerja kita bagi mereka yang kekurangan, sebagai wujud kasih dan keadilan sosial yang tertata.
Makna "Memberi" Menurut Imamat 19:9–10
Dalam bahasa Ibrani, kata kunci di sini adalah “ta‘azov” (תַּעֲזֹב) — artinya “biarkan, sisakan, lepaskan”.
Ini bukan tindakan spontan, tapi sikap hidup terencana:
mereka harus sengaja tidak memungut semua hasil panen agar orang miskin dapat memungut sisanya.
➡️ Prinsipnya:
Memberi bukanlah tindakan belas kasihan sesaat, tapi tanggung jawab sosial yang melekat dalam ibadah kepada Allah.
Apakah Sama dengan Memberi Pengemis di Jalan?
Tidak sepenuhnya sama, tetapi memiliki akar yang sama: kasih kepada sesama.
Memberi kepada pengemis bisa menjadi ekspresi kasih, tetapi tidak boleh berhenti di sana. Prinsip Imamat 19 menantang kita untuk membangun cara memberi yang bermartabat dan memberdayakan.